Asal Muasal nama SIAK
`
Nama
kabupaten di lingkungan Provinsi Riau, merupakan kawasan yang
sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Inderapura.
Seakan hendak menegaskan muasal dirinya, ibukota Kabupaten Siak pun
berdiri di kawasan yang dulu pernah menjadi ibukota Kesultanan Siak.
Mengenai
asal muasal nama Siak, terdapat sejumlah versi yang berbeda-beda. Ada
yang menyebut Siak berarti "orang yang menunggu mesjid" (ghorin) atau
"orang yang mengerti seluk beluk tentang agama Islam". Ada juga yang
menganggap Siak berasal dari kata ‘"Lasiak", kata dari bahasa Batak yang
berarti "lada". Versi lain menyebut Siak berasal dari kata "suak" yang
berarti "kampung yang banyak dialiri sungai kecil di sepanjang suangi
Siak". Kesultanan Siak bisa dijadikan sebagai eksemplar contoh ihwal
kuatnya kesadaran akan arti penting lautan. Sejarah periode-periode
pertama Kesultanan Siak disibukkan oleh semangat untuk menguasai dan
mengamankan Selat Malaka sebagai bagian penting dari eksistensi Siak.
Sultan
Siak pertama, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah yang masyhur dengan
julukan Raja Kecil, memiliki kesadaran yang kuat akan arti penting
menegakkan kedaulatan di lautan, tepatnya di Selat Malaka dan sepanjang
pantai timur Sumatera. Selain mesti menghadapi para pengikut Kesultanan
Johor, Raja Kecil juga mesti menghadapi kekuatan maritim VOC yang
berambisi menguasai Selat Malaka yang memang menjadi jalur terpenting
pelayaran dan perniagaan di Nusantara. Dengan kekuatan armada
maritimnya, Raja Kecil pelan tapi pasti menancapkan pengaruhnya di Selat
Malaka. Saking terganggunya VOC oleh pola Raja Kecil, VOC menjulukinya
sebagai "Pemimpin Bajak Laut atau Perampok Lanun".
Raja Kecil
merupakan pendiri Kesultanan Siak yang yang berhasil melepaskan Siak
dari Kesultanan Johor-Riau. Sebelumnya, penguasa di Siak ditentukan oleh
Kesultanan Riau-Johor. Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak yang
berdaulat pada 1723 di daerah Buantan. Penerus Kesultanan Siak juga
mewarisi problem yang sama dengan yang dihadapi Raja Kecil yaitu
eksistensi VOC yang makin interventif. Intervensi itu pula yang membuat
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan ibukota Siak ke Senapelan
pada 1767. Di sana ia membangun sebuah pasar (pekan) yang kelak menjadi
cikal bakal Pekanbaru.
Memasuki abad 19, Kesultanan Siak
menghadapi problem baru menyusul kehadiran Inggris di Sumatera. Puncak
problematik itu dihadapi oleh Sultan Siak ke-8, Syarif Ibrahim Abdul
Jalil Khaliluddin Syah, yang mulai memerintah pada 1810. Pada saat
hubungan dengan Belanda sudah diresmikan oleh para pendahulunya, Sultan
Ibrahim malah menandatangani kontrak kerjasama dengan Inggris pada 1818.
Belanda yang tak senang dengan langkah itu memeringatkan Sultan. Sejak
itulah Siak mesti berhadapan dengan dua kekuatan kolonial besar di
Eropa. Dilema itu juga menyulut perpecahan internal di Istana.
Dilema
itu terpecahkan setelah Belanda dan Inggris melakukan "tukar guling"
wilayah, di mana Inggris mendapatkan Singapura sementara Belanda
mendapatkan kawasan di sepanjang pantai timur Sumatera. Riwayat
Kesultanan Siak berakhir pada masa kekuasaan Sultan ke-12, Sultan Syarif
Kasim II. Dialah sultan pertama dan terakhir Siak yang mengalami udara
kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Kesultanan Serdang, Kesultanan
Siak sedari awal sudah menyatakan sikap yang pro pemerintahan Republik
Indonesia. Dua kesultanan itulah yang secara rutin mengirimi kawat dan
telegram kepada pemerintahan republik, baik ke Jakarta maupun
Jogjakarta.
Dukungan aktif itu memang tak berhasil membuat
Kesultanan Siak tetap bertahan. Tapi, cukup jelas, sikap itu berhasil
meloloskan dinasti Siak dan Serdang dari kebrutalan massa revolusioner.
Ini berbeda dengan yang dialami oleh Kesultanan Langkat atau Deli,
misalnya, yang bukan hanya dihancurkan istananya saja, tetapi banyak
pula anggota keluarga istana yang terbunuh. Itulah sebabnya hari ini
kita masih bisa menyaksikan bekas Istana Kesultanan Siak Sri Inderapura.
0 komentar:
Posting Komentar