Pages

Rabu, 15 Januari 2014

Asal Muasal nama Siak

Asal Muasal nama SIAK
`
Nama kabupaten di lingkungan Provinsi Riau, merupakan kawasan yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Seakan hendak menegaskan muasal dirinya, ibukota Kabupaten Siak pun berdiri di kawasan yang dulu pernah menjadi ibukota Kesultanan Siak.

Mengenai asal muasal nama Siak, terdapat sejumlah versi yang berbeda-beda. Ada yang menyebut Siak berarti "orang yang menunggu mesjid" (ghorin) atau "orang yang mengerti seluk beluk tentang agama Islam". Ada juga yang menganggap Siak berasal dari kata ‘"Lasiak", kata dari bahasa Batak yang berarti "lada". Versi lain menyebut Siak berasal dari kata "suak" yang berarti "kampung yang banyak dialiri sungai kecil di sepanjang suangi Siak". Kesultanan Siak bisa dijadikan sebagai eksemplar contoh ihwal kuatnya kesadaran akan arti penting lautan. Sejarah periode-periode pertama Kesultanan Siak disibukkan oleh semangat untuk menguasai dan mengamankan Selat Malaka sebagai bagian penting dari eksistensi Siak.

Sultan Siak pertama, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah yang masyhur dengan julukan Raja Kecil, memiliki kesadaran yang kuat akan arti penting menegakkan kedaulatan di lautan, tepatnya di Selat Malaka dan sepanjang pantai timur Sumatera. Selain mesti menghadapi para pengikut Kesultanan Johor, Raja Kecil juga mesti menghadapi kekuatan maritim VOC yang berambisi menguasai Selat Malaka yang memang menjadi jalur terpenting pelayaran dan perniagaan di Nusantara. Dengan kekuatan armada maritimnya, Raja Kecil pelan tapi pasti menancapkan pengaruhnya di Selat Malaka. Saking terganggunya VOC oleh pola Raja Kecil, VOC menjulukinya sebagai "Pemimpin Bajak Laut atau Perampok Lanun".

Raja Kecil merupakan pendiri Kesultanan Siak yang yang berhasil melepaskan Siak dari Kesultanan Johor-Riau. Sebelumnya, penguasa di Siak ditentukan oleh Kesultanan Riau-Johor. Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak yang berdaulat pada 1723 di daerah Buantan. Penerus Kesultanan Siak juga mewarisi problem yang sama dengan yang dihadapi Raja Kecil yaitu eksistensi VOC yang makin interventif. Intervensi itu pula yang membuat Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan ibukota Siak ke Senapelan pada 1767. Di sana ia membangun sebuah pasar (pekan) yang kelak menjadi cikal bakal Pekanbaru.

Memasuki abad 19, Kesultanan Siak menghadapi problem baru menyusul kehadiran Inggris di Sumatera. Puncak problematik itu dihadapi oleh Sultan Siak ke-8, Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin Syah, yang mulai memerintah pada 1810. Pada saat hubungan dengan Belanda sudah diresmikan oleh para pendahulunya, Sultan Ibrahim malah menandatangani kontrak kerjasama dengan Inggris pada 1818. Belanda yang tak senang dengan langkah itu memeringatkan Sultan. Sejak itulah Siak mesti berhadapan dengan dua kekuatan kolonial besar di Eropa. Dilema itu juga menyulut perpecahan internal di Istana.

Dilema itu terpecahkan setelah Belanda dan Inggris melakukan "tukar guling" wilayah, di mana Inggris mendapatkan Singapura sementara Belanda mendapatkan kawasan di sepanjang pantai timur Sumatera. Riwayat Kesultanan Siak berakhir pada masa kekuasaan Sultan ke-12, Sultan Syarif Kasim II. Dialah sultan pertama dan terakhir Siak yang mengalami udara kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Kesultanan Serdang, Kesultanan Siak sedari awal sudah menyatakan sikap yang pro pemerintahan Republik Indonesia. Dua kesultanan itulah yang secara rutin mengirimi kawat dan telegram kepada pemerintahan republik, baik ke Jakarta maupun Jogjakarta.

Dukungan aktif itu memang tak berhasil membuat Kesultanan Siak tetap bertahan. Tapi, cukup jelas, sikap itu berhasil meloloskan dinasti Siak dan Serdang dari kebrutalan massa revolusioner. Ini berbeda dengan yang dialami oleh Kesultanan Langkat atau Deli, misalnya, yang bukan hanya dihancurkan istananya saja, tetapi banyak pula anggota keluarga istana yang terbunuh. Itulah sebabnya hari ini kita masih bisa menyaksikan bekas Istana Kesultanan Siak Sri Inderapura.

0 komentar: