PUAK MELAYU DI INDONESIA kini hanya dipandang sebagai bagian kecil
dalam konsep nusantara. Padahal, di masa jaya kerajaan Sriwijaya dengan
wilayah takluk yang begitu luas, sebenarnya konsep ke-Melayuan itu
sempat menaungi sebagian besar wilayah Indonesia di masa silam.
Namun, jejak-rekam keperkasaan Melayu (baca juga: Melayu Nusantara)
kini berbekas dalam wujud wilayah geografis yang sempit dengan
indikasi-indikasi masih adanya peninggalan adat-tradisi dan nilai-nilai
budaya.
Menoleh ke latar belakang sejarah yang panjang,
orang-orang Melayu Nusantara yang menghuni sebagian wilayah teritorial
di Indonesia berasal dari ras Weddoide yang kini direpresentasikan
melalui suku-suku asli yang ada di Riau, Palembang dan Jambi, seperti
suku Sakai, Kubu dan Orang Hutan. Setelah itu, antara tahun 2500-1500 SM
datanglah golongan pertama ras Melayu dari bangsa Proto-Melayu yang
menyeberang dari benua Asia
ke Semenanjung Tanah Melayu terus
ke bagian Barat Nusantara termasuk Sumatera. Di Riau, keturunan
Proto-Melayu ini dapat dijumpai melalui suku asli Talang Mamak dan Suku
Laut.
Gelombang kedua kedatangan ras rumpun Melayu ini sekitar
tahun 300 SM yang disebut Deutro-Melayu. Kedatangan bangsa Deutro-Melayu
ini memaksa bangsa Proto Melayu menyingkir sehingga ada yang
menyingkir ke pedalaman dan ada pula yang berbaur dengan pendatang.
Bangsa Deutro Melayu inilah yang menjadi cikal-bakal rumpun Melayu yang
ada di sebagian wilayah nusantara.
Sementara Prof. S. Husin
Ali, Guru Besar dari Universiti Malaya menngatakan bahwa pendatang
pertama di Semenanjung diperkirakan berasal dari kelompok Mesolitik dan
Neolitik (sering disebut Proto-Melayu) yang berasal dari daerah Hoabinh
di Indocina. Perpindahan ke arah selatan itu dimulai kira-kira 3000-5000
tahun yang lalu dan kebudayaan mereka sering disebut kebudayaan
Hoabinhiano. Kelompok orang-orang ini terdiri dari orang-orang bertubuh
kecil dan kuat, berkulit hitam dan berambut lebat. Mereka menyebar ke
arah selatan Semenanjung dan beberapa di antara mereka menyeberang ke
Pulau Sumatera, sedangkan lainnya terus ke Selatan sampai ke Kepulauan
Melanesia di Lautan Pasifik.
Antara abad VII-XIII pada masa
jaya kerajaan Sriwijaya yang pada mulanya berpusat di Muaratakus
(Kampar, Riau) kemudian berpindah ke Palembang (Sumsel), wilayah
kekuasaannya menyebar di seluruh Sumatera, Selat Melaka dan Semenajung
Tanah Melayu. Di ujung kekuasaan Sriwijaya yang kian melemah, salah
seorang Dinasti Syailendra bernama Sang Sapurba meninggalkan kerajaan
Sriwijaya untuk melakukan perjalanan sambil membangun pengaruh di
kerajaan-kerajaan yang sudah ada. Sang Sapurba sampai di Kerajaan
Tanjungpura (Kalimantan), Bintan (Riau Kepulauan), Kuantan (Riau
Daratan) dan membina hubungan baik dengan mengawinkan putra-putranya
dengan putri kerajaan yang dikunjunginya. Selanjutnya, Sang Sapurba
mulai membangun Dinasti Melayu melalui kerajaan-kerajaan yang ada
seperti Kerajaan Bintan, Tumasik (Singapura), Melaka, Kandis, Kuantan,
Gasib, Rokan, Segati, Pekantua dan Kampar.
Di Kerajaan Bintan,
seorang anak Sang Sapurba yang bernama Sang Nila Utama dikawinkan dengan
putri Kerajaan Bintan yang kemudian dinobatkan menjadi raja. Sang Nila
Utama pula yang membangun kerajaan Tumasik. Kerajaan Tumasik dengan raja
terakhir, Prameswara saat diserang Kerajaan Majapahit, selanjutnya
mendirikan Kerajaan Melaka.
Kerajaan Melaka akhirnya
ditaklukkan Portugis. Muncullah kemudian Kemaharajaan Melayu dibawah
kepemimpinan Sultan Mahmud Syah I yang berkedudukan di Bintan kembali
merebut bekas-bekas taklukan Kerajaan Melaka.
Bentangan sejarah masa silam itu, memberikan gambaran bagaimana
perkembangan puak Melayu di kawasan Nusantara yang dominan berada di
kawasan Semenanjung Tanah Melayu dan pesisir Timur Sumatera. Di masa
jaya Kerajaan Melaka, seorang Panglima Angkatan Lautnya yang sangat
termasyhur, Laksemana Hang Tuah mengikrarkan semboyan yang sangat memuja
kejayaan bangsa Melayu. Ikrar Hang Tuah itu berbunyi:
Esa hilang dua terbilang
Tak Melayu hilang di bumi
Tuah sakti hamba negeri
Tak Melayu hilang di bumi
Tuah sakti hamba negeri
0 komentar:
Posting Komentar